Seni dari Kompetisi
Malam ini Jum’at 21 September 2012
saya akan menulis blog pertama saya. Blog ini berisikan pikiran-pikiran yang
ada di benak saya dan ingin saya tuangkan. Hari ini saya ingin menulis seni
dari kompetisi.
Sebagai laki-laki terlahir dengan hormon testosteron yang membanjiri dengan sangat banyak, kita tidak akan lepas dari
yang namanya kompetisi. Dari lahir kita selalu ingin mencoba menang dalam
segala keadaan. Mari kita simak cerita seorang anak di warung sedang bermain
dengan 2 temannya. Kita sebut saja Adi, Ari dan Ami. Adi berkata” ayahku kemaren baru pulang dari kampungku.
Kakekku punya sawah luasnya 10x rumahku”.
Ari yang mendengar hal itu segera merespon “kakek aku juga di daerahnya punya
sawah 20x besar rumah ku”. Tak mau kalah Ami langsung menanggapinya “Besaran
punya kakek aku. Kakek aku punya sawah berpuluh-puluh ratus kali rumah aku”. Hal
ini tidak berhenti sampai di sini. 2 bocah lainnya akan menambahkan dengan
sawah punya neneknya, omnya, tantenya atau siapapun. Hal ini lazim terjadi dan
saya pun pernah berbicara seperti ini. Sampai saya dewasa pun masih. Karena saya
ga mau kalah.
Hormon testosteron adalah hormon yang
memicu gairah laki-laki secara biologis dan juga yang membuat laki-laki teramat
sangat ingin menaklukkan sesuatu dan menjadi puncak penguasa di dalam berbagai
hal. Berbagai macam keinginan seperti ingin mobil paling kencang, rumah paling
besar, motor paling keren dan lain lain juga banyak dipengaruhi oleh hormone ini.
Ujung-ujungnya yang dicari adalah pengakuan dari pergaulan atau status sosial. Semakin
orang diakui di pergaulannya semakin sorang laki—laki beradaptasi dan
memproduksi serotonin. Simpanse atau gorilla yang merupakan kerabat terdekat
manusia dari sisi biologi juga memiliki ini. Para penguasa atau pejantan alpha
(alpha male) memiliki serotonin yang tinggi.
Kembali ke pengakuan. Jika kita pikir,
harta orang-orang terkaya di dunia itu pasti lebih dari cukup untuk dia dan
keluarganya. Donald Trump, Sir Alan, Theo Paphitis, Aburizal Bakrie, Michael
Sampoerna, dll pasti memiliki harta yang bisa dibilang susah untuk habis. Tapi
mengapa mereka tetap berusaha sangat keras untuk mencari kekayaan lagi? Salah satu
factor kuatnya adalah karena status social dan kompetisi. Mereka pengen diakui
dan ingin memenangkan kompetisi sebagai orang terkaya se- (Indonesia, dunia,
majalah ini, majalah itu) dll. Dan memang mereka masih laki-laki yang juga
dibanjiri oleh hormon testosterone.
Saya mungkin tidak tahu mendalam
tentang hormone. Jadi mari kita lihat ke contoh yang lebih sehari-hari.Misalnya,
saat kita melakukan sesuatu hal yang cukup berdampak pada pergaulan kita dan
orang-orang mengakui kita. Akan timbul suatu perasaan senang yang mungkin
kalian sendiri pernah mengalaminya. Saat kalian menemukan sebuah lagu dan
teman-teman anda mau meng-copynya dan mendengarkannya. Ketika yang lain
bertanya “dapet dari mana tu lagu?” mereka pun menjawab “ dari si itu tuh”. Perasaan
itu yang mungkin kalian sendiri bisa merasakannya.
Orang tua pun pada dasasrnya sama
dengan kita. Mengajarkan kompetisi sejak usia kita sangat teramat dini. Ketika
seorang bocah laki-laki mendapat nilai ulangan yang jelek. Orang tuanya akan
berkata, “coba kamun liat si “dia” dapet nilai berapa. Dia aja bisa dapet nilai
segitu. Kenapa kamu ga bisa” apakah kalian pernah juga dikatakan seperti ini
oleh orang tua kalian? Itu adalah nilai-nilai kompetisi dan pandangan bahwa
patokan hidup kita adalah orang lain bukan diri sendiri.
Sebenarnya apa sih yang membuat
kompetisi itu bener-bener sangat teramat dikejar? Menurut saya pribadi, sebuah
piala itu tidak berarti apa-apa tanpa ada orang-orang yang kalah. Keindahan
dari kompetisi adalah melihat orang yang kalah. Sebagai manusia biasa tentunya
saya senang melihat orang lain menderita kekalahan. Saya akui itu. Sebuah trofi
emas jika semua orang mendapatkannya tidak berarti apa-apa. Tapi sebuat kertas
digulung pita yang diberikan pada kita dihadapan puluhan orang yang kalah,
sambil melihat beberapa ekspresi yang kesal, yang sedih, dan yang menyesal
tentunya cukup menyenangkan bukan? Bahasa halusnya adalah kita dapat melakukan
yang orang-orang tidak dapat lakukan, well permainan bahasa. Intinya sama aja.
Akan tetapi, manusia dilahirkan
dengan segala macam keterbatasan. Keterbatasan tenaga, sumberdaya atau uang,
dan juga waktu. Di dunia yang
populasinya meningkat dengan tajam ini semakin banyak juga kuantitas grup-grup
pergaulan. Yang berdampak juga pada banyaknya pilihan untuk berkompetisi.
Contohnya:
Geng Mobil à
Kompetisi paling kenceng, ceper, gaul, audio, velg, dll
Celana Denim à
celana nomer 507, merk ini merk itu (saya bukan pecinta denim)
Musisi à
Gitar Les Paul, Gibson, Epiphone, trik-trik gitar, dll
Dan masih banyak lainnya. Kalian bisa
rasakan sendiri kalian berada di mana. Masalahnya, sumberdaya kita terbatas
untuk dapat menang dalam kompetisi dan kita harus memilih dimana kita akan
berkompetisi. Kalau kita di Geng Mobil, uang kita hanya cukup untuk: Modif
mesin ATAU modif suspense ATAU modif cat (visual) ATAU modif audio. Saya
mengambil status ekonomi Indonesia pada umumnya. Kalau bicara syekh dari timur
tengah sih silahkan nulis sendiri tentang syekh yang make Lambo dilapis emas.
Masalah berikutnya adalah kita
ingin menang dari segara aspek. Tapi sumberdaya kita tidak cukup untuk
memenuhinya. Uang telah dihabiskan untuk memodifikasi audio, tapi kita juga ingin
mobil kita paling kenceng. Jadi bagaimana solusinya? Ada 1 hal yang sangat
teramat ampuh untuk mengatasi situasi ini. Yaitu BOHONG!!. Yap benar sekali. Berbohong.
Dengan berbohong kita dapat
merekayasa segala cerita dan kita bisa menambahkan bumbu-bumbu hingga terlihat
hebat. Kecenderungan yang dilakukan adalah kita berbohong ke kumpulan pergaulan
yang tidak terlalu pakar dengan hal itu. Berbohong tentang mesin kepada
kumpulan pembalap mobil di sentul itu adalah bunuh diri. Yang didapatkan pasti
cemooh. Kecenderungannya adalah kita berbohong ke orang-orang yang tidak
terlalu paham. Orang menjadi paling pintar di kalangan orang bodoh dibandingkan
jadi orang bodoh di kalangan orang pintar. Apakah saya melakukan hal ini? Tentu
saja. Saya sangat menikmati saat-saat saya berbohong pada orang-orang di
sekitar saya.
Akan tetapi, sepandai-pandainya
tupai meloncat akan jatuh juga. Berbohong itu memiliki sebuah sifat adiktif
atau ketergantungan. Contoh pada rokok. Awalnya para perokok, merokok diam-diam
di tempat yang aman agar tidak ketahuan lingkungan dia melakukan hal yang tabu.
Tapi seiring dosis merokok makin ditambah, akan ada saat dimana seorang perokok
tidak perduli lagi apa kata lingkungan. Asalkan dia bisa merokok dan memenuhi
hal yang menjadi ketergantungannya itu. Sama halnya seperti bohong. Bohong yang
mulai ketahuan akan ditutup dengan kebohongan yang semakin besar lagi.
Kebohongan ini berlanjut hingga diri kita hanya diliputi oleh kebohongan. Sampai
ahirnya orang-orang tau anda berbohong dengan segala bukti tapi tetap mengelak
dan mencoba pergi dari pergaulan itu berharap masalah selesai dengan anda pergi.
Namun setelah anda pergi, efek ketergantungan masih melekat di diri anda dan
anda mencari pergaulan baru untuk berbohong lagi. Hal ini yang disebut paradox.
Semakin kita berbohong, semakin kita membutuhkan kebohongan yang lebih besar. Hal
yang paling bijak dilakukan pada paradox ini adalah dengan menghentikannya. Tidak
ada gunanya air laut yang semakin diminum semakin membuat anda kehausan karena
kandungan garmanya. Hal yang paling tepat adalah berhenti meminumnya. Dalam hal
ini adalah berhenti berbohong. Berkata jujur apa adanya.
Kembali ke hal kompetisi. Kalau
kita tahu bahwa berbohong bukanlah sebuah pilihan tapi kita ingin memenangkan
kompetisi, lantas bagaimana caranya? Jika saya ditanyakan pertanyaan seperti
ini, saya akan balik bertanya “Apa tujuan kalian memenangkan kompetisi?” Harga
sebuah kompetisi mungkin cukup mahal. Kalian menghabiskan 1 hari waktu dan
tenaga dan mungkin dengan persediaan uang 1 minggu untuk menang kompetisi.
Contoh konkritnya untuk menang balapan kalian harus bolos kerja 1 hari untuk ke
bengkel memodif kendaraan kalian dan menghabiskan sisa uang selama 1 minggu
terakhir. Lalu kalian malamnya balapan dan menang. Anda dapatkan apa yang anda
inginkan yaitu menang kompetisi. SELAMAT! ANDA PALING CEPAT (Hari ini) lalu selama
5 menit orang-orang bersorak soray kepada anda dan apa yang terjadi setelah
itu? Semua orang pulang karena pagi telah tiba dan anda pergi bekerja. Saat
makan siang tiba, anda tidak tahu makan apa karena uang anda telah habis untuk
memodif mobil anda. Hal ini bila diubah jadi kata-kata akan menjadi SELAMAT!
ANDA MENDERITA SELAMA SEMINGGU KEDEPAN!
Keinginan atau nafsu pada diri anda
itu bersifat paradox. Semakin kalian mengejar keinginan atau nafsu anda semakin
hal itu membingungkan anda dan ujungnya kalian akan kelelahan tanpa mendapatkan
apa-apa. Saat seekor ikan di kolam yang berlantaikan pasir mengejar mangsanya,
semakin dia mengejar semakin ikan itu mengangkat pasir pasir di dasar untuk
menghalangi pengelihatannya. Semakin dia berenang semakin keruh air itu. Air
hanya akan surut saat dia berhenti bergerak dan ketika pasir telah surut, dia
tidak mendapatkan mangsanya. Yang ada hanyalah kelelahan. Hal ini berlaku pada
keinginan anda untuk memenangkan kompetisi. . Lihatlah film-film kartun
anak-anak dan bagaimana pemeran antagonis menginginkan kekuatan tapi
ujung-ujungnya tidak mendapatkan apa-apa. Coba saja perhatikan.
Di lain sisi kompetisi suatu hal
yang sangat mengagumkan saya dapat katakan karena tanpa ada kompetisi tidak akan
ada kemajuan di dunia ini. Internet yang saya gunakan untuk mem-post blog ini
berasal dari kompetisi Negara-negara di perang dunia silam. Jadi kompetisi
tidak buruk-buruk banget. Yang menjadi baik atau buruk adalah tujuan untuk
berkompetisi.
Saya selalu berkompetisi dengan
orang-orang dewasa agar saya dapat menjadi dewasa untuk bisa mendapatkan
pengendalian diri yang tinggi. Menurut saya itu baik dan saya suka kompetisi.
Saat saya melihat anak SMA yang jauh bisa mengendalikan dirinya dibanding saya,
tentu saya akan mencoba bisa mengalahkannya dengan kembali mengendalikan diri
saya lebih baik lagi. Dengan lebih sabar,tenang dan tidak mengeluh. Itu menurut
saya baik, bagaimana menurut anda?
Hidup ini penuh keterbatasan dan saya
pribadi berharap apa yang saya punya dan saya dapat lakukan itu benar benar
bermanfaat. Jika sebuah kompetisi hanya mendapatkan penghargaan selama 5 menit
tapi apa yang dikeluarkan jauh-jauh lebih besar dari itu lantas untuk apa
berkompetisi. Saat seseorang tidak terlalu banyak mengikuti kompetisi, rasa
penasaran akan muncul dari pergaulan yang menanyakan mengapa orang tersebut
tidak berkompetisi? Ataupun anda hanya mengikuti kompetisi yang anda minati
saja, di situ anda pun mendapat pengakuan sosial sebagai orang yang punya
prinsip. Yang didapatkan bukanlah pemenuhan keinginan melainkan rasa hormat dan
respect. Bukankah itu hal yang indah?